konsep pemenangan pemilihan kepala desa

PEMENANGAN PILKADES :

Jalan tembus merebut simpati masyarakat 1



  1. PENDAHULUAN

Bagi partai politik peserta pemilu, mencari perhatian dan simpati di mayarakat merupakan hal yang sangat penting. Pasalnya, ekspektasi (harapan) semua partai adalah perolehan suara dalam momentum pesta demokrasi, terutama pada tingkat konsentrasi pemilihan kepala daerah, legislatif, dan pemilihan presiden.

Dan semisal di tingkat konsentrasi pemilihan kepala desa, terdapat ketentuan calon kepala desa harus diusung partai politik, pastilah partai politik akan mempunyai bargaining tersendiri. Namun, kondisi kontemporer tidaklah demikian, calon kepala desa dapat berdiri dengan nama sendiri, tanpa harus diusung dari partai politik. Dalam pada itu, eksistensi partai politik di tingkat konsentrasi desa belum menjadi penting.

Wilayah ‘kepentingan’ di desa pada hakikatnya, yang membutuhkan adalah partai politik sendiri. Dan partai politik akan mampu berbuat banyak, berbicara banyak pada momentum pesta demokrasi pada arasy yang lebih tinggi, apabila di tingkat konstrasi desa mampu meraih perhatian dan simpati masyarakat, bukan calon kepala desa. Calon kepala desa mampu berdiri sendiri, tanpa harus dibantu, mendapat bantuan dari partai politik. Terkecuali dalam kondisi tertentu yang bersifat “luar biasa”, yakni partai menjadi primadona desa, pujaan hari setiap warga masyarakat, sehingga, WYSIWID, “what you say is what I do”.

Dan ketika, partai politik berkeinginan masuk wilayah ‘kepentingan’ desa, hendaknya partai politik harus mampu beradaptasi dengan kondisi sosio-politis, sosiologis, dan psikologis masyarakat desa. Dengan demikian, partai politik akan mampu memasuki “genangan air bersih tanpa menjadikannya keruh”.

    1. Agenda Politik Daerah dan Nasional sampai dengan 2009 dan Keterkaitannya

Sebagaimana diketahui bahwa, dalam jangka dekat, terdapat peristiwa, peristiwa yang terjadi sesaat dan berdampak 5 tahun bahkan enam tahun kedepan. Mulai dari pemilihan kepala desa (Pilkades), pemilihan kepala daerah (Pilkada) baik bupati maupun gubernur, sampai pemilihan umum yang terbagi menjadi pemilihan legislatif dan presiden.

Dalam arasy politik, rentetan peristiwa demokrasi ini meskipun belum sepenuhnya tetapi tetap saling terkait dan tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Tidak ada jaminan, partai politik tertentu yang berhasil memenangkan momentum pilkades lantas akan merebut kemenangan juga pada momentum pilkada, pileg dan pilpres. Namun, perlu digaris bawahi, kemenangan pilkades merupakan invest politik, dan dalam arasy ini, invest politik sangat penting.

Bagi PDI Perjuangan Kabupaten Kudus, jika menginginkan kemenangan dalam momentum pemiliha kepala desa (Pilkades), sebagai upaya invest politik, hendaknya tidak memberikan ‘pilihan pahit’, menyakiti, mengecewakan masyarakat, terlebih konstituen militan PDI Perjuangan.

Apabila PDI Perjuangan Kabupaten Kudus diminta menjawab, agenda manakah yang harus dipilih, untuk diutamakan, diprioritaskan, dan kemudiankan? Pilkades, pilkada, pileg, atau pilpres ? secara tegas dan yakin dapat diutarakan, bahwa keberadaan partai politik terutama peserta pemilu adalah untuk menjaring, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan cara masuk dalam sistem pemerintahan melalui pemilihan secara demokrasi. Dan prioritas agenda politik partai, menjadi bias persoalannya, semua agenda politik sampai dengan 2009 adalah lokus atau bidang garap partai politik. Partai politik semakin mampu memanfaatkan momentum demokrasi, maka semakin diakui eksistensinya. Semakin berperan, semakin diyakini keberadaannya. Namun, apabila tidak sering menampakkan diri, tidak mampu memanfaatkan garapan ‘locus’-nya dengan baik, maka partai tersebut tidak lebih dari “adanya sama dengan tidak adanya”.

Dan sebenarnya, keikutsertaan PDI Perjuangan memainkan peran-peran cantiknya terutama dalam pemilihan kepala desa, bukan semata untuk memperlihatkan eksistensi PDI Perjuangan. Namun, lebih dari itu, sebagai invest politik., upaya memanfaatkan lahan garap ‘politik’ dengan optimal, dan yang pasti adalah ingin menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat.

    1. Deskripsi Umum Masyarakat Pedesaan

Hakikat hidup, jika disepakati adalah, untuk beribadah. Hidup akan lebih bermakna, jika disepakati adalah, kebermanfaatannya kepada orang lain. Dan jika dicermati, di masyarakat pedesaan, diakui atau tidak, masih percaya dan meyakini adanya falsafah-falsafah hidup, terutama jawa. Misal :

Mangan ora mangan asal kumpul“

(Makan tidak makan asal bersama)

Piye-piyelah nak dulur, kudu di belo”

(Bagaimanapun kalau saudara, tetap dibela), dll.

Dari beberapa falsafah jawa yang masih diyakini, masyarakat pedesaan juga masih kental dengan sifat-sifat ‘wong jowo’ (orang jawa), semisal ; “ora enak aku, yen ….”,” yen ngene, mengko piye…” dan seterusnya. Dari beberapa hal diatas, tentunya sudah dapat dipahami mengenai psikologi jawa. Apalagi Kudus ?.

Untuk pemenangan pilkades, PDI Perjuangan jangan sampai lupa ruh, lupa hakikat ke-jawaan-nya. Sebab masyarakat Kudus sampai dewasa ini- terlepas dari tingkat kualitas SDM (Sumber daya manusia) yang ada- masih mengakui dirinya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, makhluk zoon politicon (berpolitik), dan makhluk beragama. Oleh sebab itu, tidak aneh di telinga kita, satu keluarga berbeda agama, berbeda partai, apalagi berbeda pendapat. Orang yang kembar sekalipun, tidak akan sama seutuhnya, bahkan sesama kader PDI Perjuangan pun tidak sama. Dengan kondisi yang demikian, layakkah PDI Perjuangan Kabupaten Kudus mengerahkan kadernya untuk memenangkan satu calon (calon kepala desa) ? sulit rasanya diterima, meskipun di satu masyarakat yang merupakan basisnya PDI Perjuangan.






  1. RENCANA KERJA POLITIK PDI PERJUANGAN

    1. Pilkades

      1. Gambaran Umum Pilkades Kabupaten Kudus

Banyak pihak mengetahui bahwa, desa-desa Kabupaten Kudus pada tahun 2007 ini akan melaksanakan, kalau tidak salah, terdapat 121 desa yang akan melaksanakan pemilihan kepala desa, dan 2 desa akan melaksanakan pemilihan kepala desa pada tahun 2008.

Fakta empiris, pemilihan kepala desa di Kabupaten Kudus tidak pernah fair play, dalam arti demokrasi yang sebenar-benarnya, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pasalnya, banyak sekali bukti-bukti sudah diketahui khalayak namun tak pernah diungkap satupun. Mulai dari datangnya pihak ketiga (sabet, dan atau botoh) yang acapkali memberikan influence (pengaruh) melalui cara-cara yang tidak pas, dan bukannya membantu si calon dengan kemampuan negoisasi dan komunikasinya untuk mempengaruhi pemilih, sampai dengan praktik money politic. Jadi, pada akhirnya asumsi publik yang terbentuk adalah siapa yang bermodal banyak, itulah yang akan keluar sebagai pemenang. Di samping itu, faktor keluarga juga siginifikan mempengaruhi kemenangan. Dan tentunya keluarga besar dalam maksud yang standar. Bukan keluarga besar dalam arti sub-standar. Sub-standar mempunyai arti dalam keluarga besar terjadi perselisihan atau yang lebih besar terdapat permasalahan-permasalahan yang tak kunjung diselesaikan.

Deskripsi di atas, yakni tentang adanya praktik money politic dan masih berpengaruhnya keluarga besar dalam upaya mempengaruhi pemilih, tidak menutup kemungkinan adanya juga faktor-faktor lain, semisal ; sikap, perilaku, pola komunikasi dan track record sosialnya.

Gambaran singkat di atas, menunjukkan betapa komplek dan detail persoalan-persoalan yang meliputi proses demokrasi di desa. Semakin komplek dan detailnya yang demikian, masyarakat desa dapat dikatakan “aneh”, beragam dengan banyak varian.

Pengungkapan fakta di atas, bukan berarti penulis sinis dan tidak respek terhadap konstelasi politik yang masa kontemporer sudah terbiasa dengan pemberian-pemberian, atau tekanan-tekanan dan macam lainnya. Namun, hal demikianlah yang perlu didiskursuskan, diperbincangkan oleh kader PDI Perjuangan, terlebih BP. Pemilu, sebagai ujung tombak pemenangan partai. Sebab, bagaimanapun persoalannya, perubahan dan perkembangan zaman ini terus saja berjalan. Dan siapa yang start terlebih dahulu untuk melakukan “pergeseran”- kalau tidak boleh dikatakan melakukan “perubahan” peradaban - dialah yang akan menuai simpati dan vote (suara) masyarakat.

Terbukti sudah, bahwa “pergeseran” peradaban itu dimulai. Pertama, fenomena abstain dalam sebuah pemilihan pastinya biasa karena ada kepentingan yang tidak menguntungkan/ tidak menguntungkan, tetapi abstain dalam arti “golongan putih (golput)” adalah bukti riil akan ketidakpuasan, ketidakpercayaan pemilih terhadap pemerintah, yang selama ini terlahir dari demokrasi-demokrasi yang dimotori partai politik. Kedua, dipilihnya seorang pemimpin bukan karena banyaknya uang yang diberikan, dan juga bukan karena solidnya tim sukses, melainkan penilaian obyektif dan komprehensif pemilih terhadap calon sebagai konsideran memilih.

Nah, dengan pemahaman dan kesadaran komprehensif dan detail tentang desa, atau proses demokrasi di desa. Sudah barang tentu, melahirkan sikap hati-hati dalam menggoyangkan kekuatan “partai” untuk memainkan peranannya. Masyarakat desa yang “unik”, perlu didekati dan dirayu dengan cara, model yang “unik” juga.


      1. Sinergitas Kekuatan Politik Partai dengan Kemenangan dalam Pilkades

Kekuatan politik partai sudah diakui memang dalam konstelasi perpolitikan tingkat daerah dan nasional. Namun, perlu disadari akan manisfestasi kekuatan partai politik di tingkat lokal desa tidaklah sedemikian besar berpengaruh.

Dalam setiap momentum pesta demokrasi, partai politik selalu berbicara, dan demikianlah hal yang sering dirasakan. Baik ditingkat pemilihan umum untuk memilih presiden, wakil presiden, legislatif, dan pemilihan kepala daerah tingkat I dan II bahkan pemilihan kepala desa. Berbeda dan tidak satu tingkat stratifikasi pesta demokrasi itu semestinya juga membuat pembicaraan dan atau bicaranya partai politik berbeda, sehingga pada akhirnya dapat ditemukan pembicaraan yang arif/ bijaksana.

Menurut hemat penulis, partai politik khususnya PDI Perjuangan Kabupaten Kudus perlu berbicara dalam arasy pemilihan Kepala Desa, namun tidak sembarang bicara, melainkan bicara yang arif dan atau bijaksana. Alih-alih dukungan partai politik tidak dapat memberikan jaminan kemenangan atas pemilihan kepala desa.

Kader organisasi PDI Perjuangan dan kepengurusan yang solid merupakan bekal awal yang baik. Namun, soliditas kader dan pengurus perlu dibuktikan, sebagaimana perlunya menciptakan kader atau pengurus yang benar-benar loyal, buat apa solid tapi tidak loyal.

Dan kader/ pengurus yang sudah dibina sampai sejauh ini perlu masuk dalam lapangan praktik sebagai tase case keberhasilan pendidikan dan pelatihan yang dikemas dalam term “Pembekalan kader”. Lebih jauh, memberikan pengertian, pemahaman maksimal tentang bagaimana memanfaatkan peluang Pemilihan Kepala Desa tahun 2007 ini dengan tidak menimbulkan ekses (akibat) yang bias perlu dilaksanakan oleh DPC PDI Perjuangan. Pasalnya, waktu untuk merencanakan langkah-langkah politis menyambut pilkades tidaklah banyak.


      1. Distribusi kader sesuai dengan basis (Kecamatan atau desa)

Sebagai langkah teknis tentunya distribusi kader sesuai dengan basis (kecamatan atau desa) merupakan hal yang penting. Hal ini dimaksudkan, bahwa apa yang diketahui dapat segera dilaksanakan, dan menurut pemikiran penulis, orang daerah lebih mengetahui medan, dan kita tidak lagi belajar dan belajar hanya sekedar mengenali seseorang yang life in this area (tinggal di daerah ini), meskipun sebenarnya maksud langkah teknis ini akan sangat menguntungkan yang bersangkutan pada akhirnya nanti.


      1. Antara Personal Approach dan Institusional Approach

        1. Personal Approach

Yang dimaksudkan adalah pendekatan dengan focus personal, antara person dengan person. Dan dalam kaitan pemilihan kepala desa yang sangat komplek variabelnya, perlu diambil satu strategi yang benar-benat efektif. Personal approach, kami pikir perlu dipikirkan sebagai strategi yang diambil.

          1. Strategi “ Pilar listrik ”

Yang dijadikan jack point-nya adalah upaya membuat hubungan yang saling memberikan kekuatan dan sumber kekuatan itu hanya satu, yaitu PDI Perjuangan. Upaya untuk memahami ini, harus di-match-kan dengan Personal Approach. Dan kita mengambil satu sampel kasus berikut :

Dalam satu desa Glagahwaru terdapat beberapa struktural partai politik yang benar-benar merasuk ke lini tengah kehidupan masyarakat, dan salah satunya adalah Ranting PDI Perjuangan. Kemudian di desa yang dimaksudkan di atas, mempunyai 2 orang bakal calon kepala desa Glagahwaru.

Dalam kasus yang demikian, dan bertolak dari mainstreem strategi “pilar listrik”. Pengurus Ranting perlu dilakukan braving, diberikan pengertian, agar bagaimana persoalan pilkades tidak merasuk kedalam konflik internal pengurus ranting, dan terlebih lagi terbentuknya visi yang sama akan adanya pilkades ini, serta akhirnya diinventarisir siapa saja yang bakal memihak calon satu dan calon lainnya, dengan membiarkan forum ini berkembang, atas dasar apapun mereka memilih. Satu hal yang penting, mereka akan tetap terkoordinasikan jadi satu, dengan Pengurus Ranting menjadi motor (penggerak).


          1. Strategi “ Air dan Minyak ”

Setiap pemilihan umum ditingkat desa acapkali menimbulkan konflik. Arah pendukungan, fanatisme, dan pengalaman-pengalaman yang ada sebelumnya, sering menjadi faktor pemicu munculnya konflik internal masyarakat desa. Konflik internal merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan sesuatu hal yang besar, meskipun sebenarnya tidak untuk menggambarkan adanya satu pertarungan besar.

Air dan minyak pada hakikatnya mempunyai massa jenis yang berbeda, dan sampai sekarang belum ditemukan teori maupun fakta, bahwa air dan minyak bersenyawa. “Air” dan “Minyak” adalah terma yang dipergunakan untuk memudahkan penyebutan sebuah strategi, dimana yang dimaksudkan adalah satu sama lain tidak akan pernah ketemu apalagi bersenyawa, namun pada dasarnya kedua pihak mempunyai bentuk yang sama yakni cair.

Lebih jauh lagi mengenai “Air dan Minyak” dan konteks dengan PDI Perjuangan. Kader struktural PDI Perjuangan di Tingkat Pimpinan Ranting dapat mengambil posisi, posisi yang membuat sebagian mereka merasa mendapatkan apa yang diinginkan. Dan tetap membiarkan mereka mengambil posisi yang berbeda, tanpa membuat koneksi dan komunikasi secara eksplisit, tetapi justru menunjukkan satu perilaku, sikap dan pernyataan yang menunjukkan perlawanan satu sama lain. Secara singkat dapat dilukiskan dalam bahasa jawa, “Ethok-ethok elek”. Dan satu perlu diperhatikan, jangan sampai kita justru terperangkap pada intrik dan polemik virtual belaka, atau, pernyataan, sikap dan pernyataan yang berbeda justru membuat perpecahan komunitas PDI Perjuangan sendiri.

Untuk mengantisipasi persoalan ini, menurut hemat penulis. Pimpinan Ranting sekali lagi yang mengambil peran tengah-tengah

        1. Institusional Approach

          1. Sebuah Pertaruhan Besar

          2. Pentingnya win-win orientation

          3. Arti penting kontrak politik

          4. Langkah-langkah strategis

    1. Pilgub Jawa Tengah

        1. Analisa tipikal masyarkat Jawa Tengah

        2. Inventarisir kader, kampiun regional

        3. Tentukan sikap

    1. Pilbup Kudus

      1. Analisa tipikal masyarakat Kudus

      2. Inventarisir kader, kampiun Kudus

      3. Test case kekuatan

      4. Mulai pertempuran

  1. EVALUASI STRUKTURAL DAN PROYEKSI KULTURAL

  1. Evaluasi Struktural

    1. Pengertian evaluasi struktural

    2. Status kader sebagai leader dalam Struktural partai

    3. Status kader sebagai masyarakat yang bersaudara, bertetangga, bermasyarakat

  2. Proyeksi Kultural

      1. Pengertian proyeksi kultural

      2. Efektivitas gerakan kultural dalam menarik simpati masyarakat

  1. PERANAN MEDIA KAMPANYE “Menarik Simpati”

  2. KESIMPULAN DAN PENUTUP


1 Disusun oleh M.A. Khomsin (Biro Penjaringan dan Penyaringan BP. PEMILU)

DPC PDI PERJUANGAN KAB. KUDUS

0 komentar: